oleh: Willy Kumurur
TRIBUN-TIMUR.COM--Sang nasiblah yang telah
“mencampakkan” Denmark ke dalam “neraka”, karena di Grup B pentas Euro
2012, tim dinamit itu berada dalam satu kubangan dengan Der Panzer
Jerman, Flying Dutchman Belanda dan Brasil Eropa – Portugal.
Gemetar
ketakutankah tim negeri Skandinavia? Tidak. Mereka memiliki sejarah
manis di kancah pertarungan bola Benua Biru. Tahun 1992 mereka
sebenarnya tidak lolos ke kompetisi bergengsi antar negara-negara Eropa
itu. Namun, sang nasiblah yang menuntun mereka untuk masuk menggantikan
Yugoslavia yang ketika itu sedang dilanda perang saudara.
Di
semifinal mereka menyingkirkan juara bertahan Tim Oranye Belanda dalam
adu penalti dan melenggang ke final menantang tim spesialis turnamen,
Jerman. Puncaknya adalah dinamit “meledakkan” Der Panzer hingga luluh
lantak lewat dua gol dari John Jensen dan Kim Vilfort dan memastikan
kemenangan 2-0 atas juara dunia 1990 itu, dan menggenggam piala Eropa
1992.
Bermodalkan sejarah indah itulah, Nicklas Bendtner dan
rekan-rekannya memasuki gelanggang Euro 2012 dengan kepala tegak. Tengah
malam nanti, di Metalist Stadium, Kharkiv, mereka akan memainkan laga
melawan tim negeri Kincir Angin Belanda yang datang ke Polandia-Ukraina
dengan tim impian (The Dream Team).
Ben van Marvijk tengah
berbunga-bunga karena membawa tim Kincir Angin yang siap “meniupkan
angin kencang” memporak-prandakan lawan-lawannya. Belanda datang dengan
tim bertabur bintang: Robin van Persie, Wesley Sneijder, Klass
Jan-Huntelaar, Arjen Robben, Rafael van der Vaart, Mark van Bomel, dan
banyak bintang lainnya.
Penampilan tim Oranye ini tak hanya menjanjikan kemenangan, namun sepakbola menyerang yang menambah keindahan permainan mereka.
Belanda tak pernah mau mengkhianati postulat dan thesis permainan mereka yaitu total football.
Mereka
menyerang bagai angin puting beliung dan memainkan pertahanan rapi
seperti benteng untuk meredam serangan lawan. Total football memberi
konsekuensi dan akibat yang dinanti dan dirindukan penggemarnya yaitu
sepakbola indah.
Jika harus menang, maka kemenangan itu harus
indah. Lapangan hijau adalah kertas tempat mereka menuliskan puisi dan
prosa lirik, sekaligus mempresentasikan konser musik klasik dan jazz di
bawah pimpinan dirigen yang berdiri di pinggir lapangan: Ben van
Marvijk.
Di Euro 2008, Tim Bunga Tulip di bawah komando
panglimanya waktu itu, Marco van Basten, tampil memukau sekaligus
mengerikan. Perancis dihajar tanpa ampun 4-1, Italia rontok 4-0, namun
akhirnya bertekuk-lutut di bawah kaki Andrei Arshavin dan kawan-kawan,
negeri Beruang Merah Rusia.
Mereka terlalu asyik menyerang dan
menjadi pongah, dan kepongahannyalah yang membawa mereka harus pulang
lebih awal dan membuat publik Belanda dan fansnya sedih dan kecewa.
Dengan
materi tim yang luar biasa ini, Tim Negeri Kincir Angin ini amat
difavoritkan. “Sekaranglah saatnya bagi Belanda,” ujar Arjen Robben,
striker Bayern Muenchen. Lalu, dengan tim yang hebat ini, siapakah yang
sanggup mengalahkan mereka? Jawablah adalah: Belanda. Tim Oranye
seringkali takluk oleh mereka sendiri.
Kata penulis buku Guy
Finley dalam bukunya yang mashyur, The Intimate Enemy: “Musuh paling
akrab adalah diri sendiri.” Karena itu, sekalipun Johan Cruyff
mengatakan bahwa yang paling berbahaya di Euro 2008 adalah Tim Panser
Jerman, namun tiga kali runner up Piala Dunia ini selalu kandas oleh
kecerobohan mereka sendiri. Ini amat dipahami oleh Tobias P. Mikkelsen
dan rekan-rekannya.
Jika Belanda diprediksi oleh banyak kalangan
akan dengan mudah “meniup” Denmark di penyisihan grup maut itu; tim
Denmark tidak gentar dan siap untuk meledakkan dinamitnya di “neraka”
sekaligus menghalau Kincir Angin itu. Maka, bersiap-siaplah menantikan
dan menyaksikan drama yang mungkin terjadi.***
Sumber : makassar.tribunnews.com
0 komentar:
Posting Komentar